80 Tahun Merdeka: Antara Euforia Perayaan dan Realita Kemunduran

Teks foto: tangkapan layar dari detik.com (03/08/2025) tentang kebijakan libur nasional dari pemerintah.

Memasuki usia ke-80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, berbagai bentuk perayaan digelar di seluruh penjuru negeri. Pemerintah pun turut mengeluarkan kebijakan libur nasional yang lebih panjang sebagai bentuk penghormatan terhadap momen bersejarah ini. Tentu kebijakan ini patut diapresiasi karena memberi ruang kepada masyarakat untuk merayakan dan mengenang kembali perjuangan para pendiri bangsa.


Namun, di balik semaraknya perayaan dan berbagai euforia yang menghiasi setiap sudut negeri, kita perlu berhenti sejenak untuk merenung. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah makna kemerdekaan yang sesungguhnya sudah benar-benar kita rasakan setelah delapan dekade berlalu? Apakah kemerdekaan yang kita rayakan ini benar-benar sudah utuh baik secara fisik, mental, sosial, maupun dalam aspek keadilan dan kesejahteraan?


Faktanya, banyak persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Korupsi masih menjadi penyakit kronis di hampir semua lini pemerintahan, kesenjangan sosial terus melebar, kualitas pendidikan belum merata, dan mentalitas sebagian elite masih terjebak dalam budaya feodalisme dan kepentingan pribadi. Bung Hatta pernah mengatakan dalam sebuah catatan otobiografinya yang diterbitkan tahun 2011 bahwa "Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur" (dikutip dari buku Untuk Negeriku, Kompas, 2011). Namun pertanyaannya, apakah bangsa ini sudah benar-benar berjalan di atas jembatan itu, atau justru masih berkutat di pinggirannya?


Kita perlu dengan jujur melihat kembali: apa keberhasilan besar yang sungguh-sungguh diraih dari tahun ke tahun? Apakah infrastruktur yang dibangun merata hingga ke pelosok, atau hanya bertumpuk di pusat kota? Apakah pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, atau hanya dinikmati oleh segelintir kalangan atas?


Salah satu bentuk simbolik dari perayaan kemerdekaan yang patut direnungkan adalah panjat pinang. Permainan rakyat ini, di satu sisi, menggambarkan pentingnya kerja sama dan kekompakan. Semua peserta saling membantu satu sama lain demi mencapai puncak dan meraih hadiah, yang nantinya dibagi untuk semua. Namun di sisi lain, permainan ini juga bisa dimaknai secara lebih dalam: ada pula yang rela menginjak rekannya sendiri demi menjadi yang pertama sampai ke atas, demi gengsi, hadiah, atau kepentingan pribadi. Inilah realitas kehidupan sosial dan politik kita hari ini. Solidaritas dan kebersamaan sering kali dikorbankan demi ambisi dan kekuasaan.


Sebagai generasi muda, kita tak boleh terlena hanya dengan semangat seremonial. Kita perlu membangun kesadaran baru kesadaran untuk berpikir kritis, bersikap adil, dan memperjuangkan nilai-nilai kejujuran serta kemanusiaan. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang ditulis oleh Soe Hok Gie dan diterbitkan LP3ES tahun 1983, ia menulis: "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan." Kalimat ini menjadi pengingat bahwa memperjuangkan kebenaran tak selalu berarti berjalan di jalan yang nyaman.


Kemerdekaan bukanlah sesuatu yang bisa diwariskan begitu saja. Ia harus dijaga, diperjuangkan, dan dimaknai secara kontekstual sesuai tantangan zaman. Maka, di usia 80 tahun Indonesia ini, mari kita jadikan peringatan kemerdekaan bukan hanya sebagai ajang perayaan, tapi juga momen refleksi bersama untuk membenahi bangsa, dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan, hingga keberanian untuk bersuara atas ketidakadilan yang masih terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Universitas Malikussaleh Jadi Kampus dengan Jurusan Hukum Terbaik se-Indonesia Tahun 2025

BEM Unimal Lolos Seleksi Substansi Proposal Nasional PPK Ormawa 2025

BEM Unimal: Bobby Jangan Memperkeruh Susana